SERUJI.CO.ID – Suatu ketika, George Clemenceau, berseru. Ia Perdana Menteri Perancis di era perang dunia pertama. Ujarnya, perang terlalu penting untuk diserahkan kepada para Jenderal. Perang hanya bisa dimenangkan jika semakin banyak elemen masyarakat terlibat, bahu membahu, meletakkan hatinya di sana.
Apa yang dikatakan Clemenceau juga dapat diterapkan untuk hal lain. Upaya mencerdaskan bangsa terlalu penting jika hanya diserahkan kepada pemerintah. Semakin banyak elemen masyarakat mencari ikhtiar untuk terlibat, semakin kokoh jalan mencapainya.
Sekelompok penyair, guru, pendidik, ingin ikut sumbang saran. Mereka datang ke Bali atas inisiatif pribadi, tanpa menggunakan dana pemerintah sedikitpun. Mereka datang tanpa menumpang lembaga pemerintah manapun.
Mereka disatukan oleh harapan yang sama. Para siswa harus lebih diperkaya wawasan, diperkuat karakter, disentuh rasa peduli sosial, diberi simulasi untuk berkarya; membaca, merenung dan menulis.
Memang sudah ada pelajaran agama di sekolah. Sudah pula ada pengajaran soal pendidikan kewarga negaraan. Sudah pula ada pelajaran sastra dengan contoh puisi Chairil Anwar dan lain lain.
Namun zaman sudah berubah dibanding era Chairil Anwar. Ini era ketika siswa sibuk dengan handphone. Era ketika sekelompok pelajar menjajal narkoba dan lem Aica Aibon. Era ketika pelajar tawuran. Era budaya Zaman Now yang tak terbayang oleh penyair Chair Anwar sekalipun.
Mereka ingin kembali mengenalkan sastra namun melalui puisi yang banyak bicara mengenai kisah masa kini, kisah yang dialami oleh siswa. Puisi esai membuka kemungkinan itu. Dalam puisi esai ada drama, ada catatan kaki, ada riset, bahasanya mudah.
Aha!!!! Mengapa kita tak coba membawa puisi esai ke sekolah? Ini ikhtiar justru membantu pemerintah tapi tanpa menggunakan dana pemerintah. Gerakan literasi nasional, membangun moral pancasila, pendidikan karakter dan disiplin, yang dicanangkan pemerintah, lebih dibantu dan lebih mudah disampaikan lewat puisi esai.