SERUJI.CO.ID – Yang membuat seorang siswa sukses, ujar Angela Lee Duckworth, bukan kecerdasan. Bukan pula kekayaan dan fasilitas belajar orang tua. Yang membuat seorang siswa sukses apa yang ia sebut dengan Grit.
Duckworth melakukan riset khusus berkali kali. Ia rumuskan Grit sebagai ketekunan dan mimpi yang terus dihidup-hidupkan dalam hati, secara terus menerus dan jangka panjang untuk mencapai sesuatu. Inilah api enerji. Jika Grit sudah hidup di hati siswa, maka siswa itu akan bergerak lebih tahan banting, lebih imajinatif, akan lebih sukses dibandingkan siswa lain yang bahkan lebih pintar, lebih kaya dan lebih banyak fasilitas.
Duckworth membahasakan kembali apa yang dulu disebut need for achievement. Jika satu individu punya hati yang menyala ingin mencapai sesuatu yang besar, yang ia terus impikan, tak peduli rintangan yang datang, ia potensial akan sukses.
Lalu Ashley Cullins mengeksplor lebih jauh. Apa saja yang dapat membangkitkan api di hati siswa? Hal apa yang perlu didengar, dilihat atau dilakukan siswa agar Grit itu tumbuh. Cullins menuliskan sembilan cara menumbuhkannya.
Satu dari sembilan cara itu adalah lewat sastra: puisi, cerpen atau novel. Drama tentang hidup manusia dalam sastra akan sangat powerful menghidupkan Grit di hati siswa.
Fungsi pendidikan salah satunya menghidupkan Grit, need for achievement di hati siswa. Definisi sukses dan pencapaian di sini bukan sekedar ia mendapakan nilai pelajaran yang tinggi.
Pendidikan justru terutama harus ditujukan untuk menghidupkan mindset, habit, dan karakter siswa, bukan sekedar pengetahuan soal angka dan fakta. Hanya dengan karakter yang cinta ilmu, toleransi pada perbedaan (suka, agama, paham), religius (cinta damai, berbuat baik, suka menolong), siswa akan sukses sebagai individu dan warga.
Sudahkah pendidikan kita kokoh menghidupkan api itu di hati siswa? Cukupkah pelajaran sastra di sekolah? Yaitu sastra yang membawa moral universal dengan isu kekinian?