SURABAYA, SERUJI.CO.ID – Nailatin Fauziyah, pengamat psikologi sosial UIN Sunan Ampel Surabaya menyoroti cara Ahmad Budi Cahyono guru seni budaya SMAN 1 Torjun, Sampang, Madura menegur perilaku Hl yang membuat gaduh kelas, hingga pada akhirnya direspon negatif oleh HI, dengan memukul sang guru hingga tewas.
Ibu dua anak itu menjelaskan jika konsep hadiah (reward) dan hukuman (punishment) dalam proses pendidikan, hendaknya disesuaikan dengan pemahaman konsep hadiah dan hukuman pada diri siswa.
“Bisa jadi Punishment yang diberikan itu sangat melukai harga dirinya, itu mesti menimbulkan kemarahan. Kalau memang punishment itu mengena pada ego-nya, maka kemarahan yang muncul, kalau kemarahan sudah muncul dan tak ada alternatif lain, yang ia pahami adalah agresivitas, yang terjadi adalah balas dendam,” katanya.
Pengurus Yayasan Harmoni Woman Crisis Centre Jombang itu melanjutkan, bahwa pemahaman atas konsep hukuman dan hadiah pada setiap orang cenderung berbeda, tergantung kepribadiannya.
“Itu kan gini, konsep reward dan punishment dalam teori psikologi. Reward itu diberikan agar perilaku positif yang dilakukan menguat agar ditingkatkan. Punishment diberikan agar perilaku (buruk, red) itu dihentikan, sehingga masing-masing orang tipe kepribadiannya berbeda, sehingga bentuk pemahaman reward dan punishment juga berbeda,” lanjutnya.
Baca juga: Terkait Murid Pukul Guru Hingga Tewas, Psikolog: Pelaku Juga Korban
Perilaku marah pada diri Hl pada gurunya yang berujung pada pemukulan hingga tewas, juga dilatarbelakangi oleh kondisi psikologis masa pertumbuhan Hl yang tengah menginjak usia remaja.
“Dibawah 18 tahun kalau secara psikologis disebut remaja, kalau masa remaja sebenarnya pada aspek positifnya, itukan usia dimana orang mengembangkan potensi diri secara maksimal, energi yang dimilliki sangat luar biasa di usia remaja, tapi disisi negatifnya, jika referensi yang dimilikinya cenderung negatif maka yang dikembangkan negatif, maka jadinya negatif,” jelasnya.
Disisi lain, psikolog yang juga pengurus lembaga di bawah NU ini juga mengingatkan pengaruh lingkungan bagi tumbuh kembang anak termasuk perilakunya.
“Di banyak kasus anak, coba lihat budaya di sekolah itu bagaimana? Pakai teorinya mikrosistem, markosistem, ekologi, bagaimana nilai yang dipahami, pola asuh, lingkungan pendidikan, akhirnya terbentuk di anak ini,” pungkasnya. (Luh/Hrn)
Jika di sekolah sudah ada aturan bagaimana harus memberikan punishment terhadap siswa, dan seluruh komponen warga sekolah sudayh memahami dan menjalankannya, saya kira ttidak ada yang tidak mustahil peraturan itu akan berjalan lancar. Banyak aspek yamg membuat perilaku siswa bertindak negarif, ya salah satunya karena ego itu tadi. Satu hal yang harus tetap berjalan yaitu kontrol sekolah oleh seluruh warga sekolah agar kedisiplinan siswa makin kuat. Hal ini adalah salah satu cara menguatkan karakter bangsa. semua harus terlibat bukan hanya satu dua atau skelompok warga seklah saja yang melakukan. Jika bergotong royong mengontrol perilaku siswa, insyaa Allah kejadian ini tidak akan terulang kembali