SURABAYA – Jual beli seragam di sekolah saat penerimaan siswa baru, sudah saban tahun terjadi. Walau dikatakan bahwa hal itu dilarang, namun sudah menjadi rahasia umum bahwa saat daftar ulang, orang tua murid disodorkan daftar seragam yang harus dibeli.
Tidak hanya seragam sekolah, penjualan buku, dan Lembar Kerja Siswa (LKS) juga marak terjadi setiap tahun, bahkan setiap berganti semester. Walau dikatakan tidak wajib, namun para murid mau tidak mau harus membeli karena banyak tugas yang diberikan lewat LKS tersebut.
Dikutip dari Faktualnews.com, menyikapi hal tersebut, Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Timur, Agus Widiyarta menegaskan, sekolah maupun komite sekolah dilarang menjual seragam maupun buku kepada para siswa.
“Menurut Ombudsman, sekolah maupun komite sekolah itu tidak boleh menjual buku maupun LKS, titik. Gitu, intinya itu,” tegas Agus di kantornya, Jalan Ngagel Timur, Kota Surabaya, Senin (16/9).
Larang tersebut, kata Agus,diatur tegas di pasal 181a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolahan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang menyatakan pendidik dan tenaga kependidikan, baik persorangan maupun kolektif, dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, seragam sekolah, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan.
“Berdasarkan pasal itu sudah jelas ya. Jadi guru, maupun karyawan di sekolah itu sama sekali tidak boleh menjual buku-buku maupun seragam di sekolah,” tegasnya.
Tidak hanya guru dan karyawan sekolah, imbuh Agus, Komite Sekolah pun dilarang menjual buku maupun seragam sekolah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12a, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah.
“Di pasal itu tertulis, Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah,” jelasnya.
Bahkan, jelas Agus, koperasi sekolah yang ada di lingkungan sekolah juga dilarang menjual seragam dan buku kepada siswa. Kecuali, jika koperasi tersebut dikelola secara independen dengan tanpa ada keterlibatan guru, karyawan hingga para komite sekolah.
“Misalnya ada koperasi yang dikelolah independen. Nah, bagusnya itu ada tulisan yang tidak mewajibkan beli. Hanya menyediakan saja. Jadi siswa beli nggak apa-apa, tidak beli juga tidak apa-apa,” terangnya.
Agus menegaskan bahwa jual beli seragam, buku pelajaran dan LKS yang dilakukan pihak sekolah merupakan mal administrasi, sebuah pelanggaran administrasi, juga dapat dikategorikan sebagai tindakan Pungutan Liar atau Pungli, yang dapat dikenakan sanksi pidana bagi pelakunya.
Kendati demikian, pihaknya enggan menjelaskan lebih jauh tentang praktik jual beli seragam, buku hingga LKS yang dilakukan sekolah maupun komite sekolah sebagai bagian dari tindakan Pungli. Sebab, hal itu menjadi ranah penegak hukum.
Sedangkan sanksi administrasi yang dimaksud, adalah dengan melakukan mutasi hingga pencopotan dari jabatan guru atau karyawan sekolah. Dan kewenangan ini menjadi tanggung jawab pimpinan sekolah.
“Kalau itu sekolah, pimpinan di atasnya berarti dinas (pendidikan). Tentu dinas yang akan memberikan sanksi kepada para kepala sekolah yang melakukan maladministrasi itu,” tukasnya.