PADANG – Pada tahun 90-an, kitab kuning masih banyak yang mengenalnya. Namun seiring pertumbuhan zaman, sudah banyak masyarakat maupun generasi muda yang tidak mengetahui apa yang dinamakan kitab kuning.Malahan ada diantara kita yang menganggap kitab kuning sebagai Alqur’an atau kitab suci yang ditulis tanpa baris.
Ada banyak nama sebagai sebutan lain dari kitab yang menjadi referensi wajib di pesantren ini disebut “kitab kuning” karena memang kertas yang digunakan dalam kitab-kitab tersebut berwarna kuning.
Istilah ini bertujuan untuk memudahkan orang dalam menyebut. Sebutan “kitab kuning” ini adalah khas Indonesia. Ada juga yang menyebutnya, “kitab gundul”. Ini karena disandarkan pada kata per kata dalam kitab yang tidak berharokat, bahkan tidak ada tanda bacanya sama sekali, tak seperti layaknya kitab-kitab yang dicetak dalam tahun-tahun belakangan.
Istilah “kitab kuno” juga sebutan lain kitab kuning. Sebutan ini mengemuka karena rentangan waktu yang begitu jauh sejak kemunculannya dibanding sekarang. Karena saking kunonya, model kitab dan gaya penulisannya kini tak lagi digunakan.
Secara umum, kitab kuning dipahami oleh beberapa kalangan sebagai kitab referensi keagamaan yang merupakan produk pemikiran para ulama pada masa lampau (al-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.
Lebih rinci lagi, kitab kuning didefinisikan dengan tiga pengertian. Pertama, kitab yang ditulis oleh ulama-ulama asing, tetapi secara turun-temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia.Kedua, ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis yang independen. Dan ketiga, ditulis ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing.
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di Timur Tengah, dikenal dua istilah untuk menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format penulisannya.
Ironisnya, disaat era globalisasi dengan berkembanganya ilmu teknologi yang pesat telah menggeser kecintaan generasi muda untuk mempelajari kitab kuning, serta tempat untuk mempelajarinya saat sekarang hanya terfokus pada pondok pesantren dan itupun tidak semua pondok pesantren yang mengajarkan. Namun jika diajarkan kembali oleh lulusan pesantren kepada masyarakat melalui pengajian di masjid atau surau tentunya akan membantu masyarakat yang masih awam terhadap kajian agama.
Sebenarnya masih banyak yang dapat dipelajari dalam kitab kuning itu, baik dari segi pemerintahan, politik hingga ekonomi. Namun diera sekarang, banyak yang merasa minder belajar kitab kuning, padahal kalau dikaji lebih dalam, kitab kuning khususnya dalam kitab Fathul qorib ada bab yang khusus menjelaskan tentang perekonomian umat Islam, bahkan dunia saja belajar ekonomi dari kitab kuning.
Bagaimana kedepan santri dilatih untuk bisa mentranslet kitab kuning dalam bahasa ekonomi dunia sehingga perekonomian global dipegang oleh pesantren, pengasuh pesantren juga didesak untuk memotifasi santri untuk mengkaji kitab kuning supaya bisa menjadi solusi ekonomi umat Islam.
Semua itu yang bisa menjawab adalah santri-santri yang ada di Pondok Pesantren, namun hal ini yang belum diketahui di banyak pesantren. Dari sinilah umat Islam mendapat pengetahuan tentang kewirausahaan, karena itu kitab kuning bukan hanya menjadi bacaan wajib di pesantren namun menjadi dasar kajian dan implementasi santri dalam mengaplikasikan ilmunya serta bergelut dalam bidang wirausaha ditengah-tengah masyarakat.
Niat dari kementrian agama yang menggelar lomba tersebut perlu didukung bersama, sehingga santri yang mencintai dan mempelajari serta memahami isi kitab kuning sehingga lahir generasi yang berakhlak mulia dalam menghadapi zaman yang penuh kegilaan seperti saat ini.
Namun yang terpenting adalah bagaimana kandungan kitab kuning tersebut dapat diterapkan serta diajarkan kepada masyarakat melalui media yang ada, sehingga tercipta generasi yang memiliki pola pikir serta prilaku yang sesuai dengan disyariatkan agama.(*)
*Dikutip dari berbagai sumber