SURABAYA, SERUJI.CO.ID – Sejak 2013, MSH (29), mengaku libidonya naik ketika melihat anak laki-laki yang disukainya. Diperkirakan 65 siswa di SD swasta Surabaya tempat ia mengajar, telah menjadi korban pelampiasan nafsu seksualnya.
Pakar Psikologi Hukum dan Forensik UIN Sunan Ampel Surabaya, Suryani memberikan tinjauan pada sisi anak sebagai korban, yang cenderung tidak memiliki keberanian dalam mengungkapkan perilaku pelecehan yang dialami sejak tahun 2013.
“Mengapa anak-anak belum berani mengungkapkan, satu dari sisi usia, bisa saja dari jenis pelakunya,” jelas Suryani kepada SERUJI di ruang kerjanya di Fakultas Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya, Jumat (23/2).
Menurut wanita yang menjabat Ketua Program Studi Psikologi ini, pelaku yang dikenal dekat oleh anak menjadi penyebab ketakutan anak melapor.
“Kebanyakan kasus adalah orang terdekatnya, orang yang dikenalnya. Itu yang membuat sulit untuk diungka. Apalagi guru, belum lagi konstruksi budaya anak yang berpengaruh, bahwa guru harus dihormati,” tuturnya.
Selain itu, lanjutnya, sikap orang tua terhadap laporan anak juga mempengaruhi anak dalam melaporkan kasus yang menimpanya.
“Meskipun bisa dikatakan anak itu jujur, bicara dengan benar, terkadang orang tua membantah ‘tidaklah itu kan gurumu’. Konsepsi-konsepsi negatif itu kemungkinan juga menjadi penyebab anak tidak mau mengungkap,” katanya.
Baca juga: Guru Diduga Cabuli 65 Muridnya, Kapolda: Hukum Berat
Sementara pengetahuan anak soal batasan pelecehan pun menjadi sebab akhirnya anak tidak melaporkan apa yang ia alami.
“Dan anak-anak juga belum mengerti apakah ini disebut pelecehan. Karena ia menganggap orang yang jauh lebih tua adalah orang yang harus dihormati,” jelas Suryani.
Selain itu, ancaman-ancaman yang dilakukan oleh pelaku, membuat si korban yang usianya anak-anak juga takut melaporkan.
“Karena ada ancaman atau punishment ‘aku akan membunuhmu’, model-model itu sering digunakan pelaku untuk menjaga diri supaya masih bisa berbuat seperti itu,” pungkasnya. (Luh/Hrn)