PURWOKERTO, SERUJI.CO.ID – Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini internet dan media sosial merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat, terutama generasi muda.
Dunia maya dan berbagai perangkat digital seakan tidak terpisahkan dari keseharian masyarakat pada era kekinian.
Bagaimana tidak, dengan adanya internet, masyarakat dapat “terhubung” antara satu dan lainnya dengan sangat mudah, tanpa ada batas ruang dan waktu. Misalnya, menggunakan aplikasi pesan singkat.
Selain itu, masyarakat juga dapat dengan mudah mengakses berbagai jenis informasi yang mereka dibutuhkan dengan berselancar di dunia maya.
Berbagai kemudahan itu, menjadikan internet dan media sosial, menjadi makin dekat di hati masyarakat, khususnya anak-anak muda, para generasi milenial.
Meski demikian, di balik gegap gempita internet dan media sosial, ada sejumlah hal yang perlu menjadi perhatian bersama.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Edi Santoso mengatakan bahwa para generasi muda rentan terpapar konten negatif internet.
Pasalnya, hampir semua ada di internet, ada banyak hal positif, tidak dapat dipungkiri ada pula hal yang bernuansa negatif.
Generasi muda yang tidak siap dengan keberlimpahan informasi itulah, menurut dia, yang rentan terpapar konten-konten yang negatif.
Apa saja konten negatif yang dapat ditemukan di internet? Misalnya, adanya nuansa pornografi dan kekerasan.
Meskipun demikian, internet adalah realitas zaman yang tidak dapat dihindarkan. Dalam arti, apakah dengan adanya konten bernuansa negatif, lalu kita menutup diri dari internet? Apakah para orang tua lantas harus “mengisolasi” anak-anak dari internet? Menurut dia, anak tidak perlu diisolasi atau dihindarkan dari internet, tetapi ditumbuhkan resistensinya. Di situlah peran orang tua menanamkan daya imun atau resistensi terhadap internet.
Salah satu caranya, kata dia, orang tua lebih intensif dalam mendampingi anak dalam mengakses internet.
Dalam khasanah komunikasi, hal tersebut disebut sebagai literasi media atau literasi internet, yakni kemampuan mengonsumsi isi media secara konstruktif.
Ada satu problem, yang saya kira tak mudah diatasi, yakni fakta bahwa media sosial yang terkoneksi dengan belantara dunia maya yang “open source”, semua orang bisa mengunggah apa pun, kemudian bisa diunggah atau dintip, dilihat oleh siapa pun, katanya.
Menurut dia, salah satu risiko koneksitas global melalui dunia maya adalah paparan konten-konten yang bernuansa negatif.
“Ini isu klasik sebetulnya,” katanya.
Sejauh ini, terkait dengan konten-konten negatif, telah ada upaya pemblokiran oleh Pemerintah. Pemblokiran artinya pemerintah memutus konektivitas publik dengan penyedia konten pornografi.
Pertanyaannya seberapa efektif program itu? Terlalu banyak konten porno di belantara “online”, dan terlalu terbatas daya teknis untuk memblokirnya.
Maka, selain isu pemblokiran yang berdimensi struktural, isu antipornografi ini mestinya juga dilihat secara kultural. Misalnya, dengan pendekatan literasi, melalui pencerdasan warganet (netizen).
Klasik tp merusak…dipwrlukan upaya pemerintah yg sungguh2, bukan lipsing